Analisis Cerpen
PENGANTAR
KESUSASTRAAN
ANALISIS CERPEN
ANALISIS CERPEN
OLEH
NAMA
: EPON PUTRA
NPM : 12080166
SESI
: E
DOSEN
PEMBIMBING
Mila
Kurnia Sari, S.S.
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN(STKIP)PGRI
SUMATERA
BARAT
PADANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pertama sekali
marilah kita ucapkan puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan
rahmat dan karunianya kepada kita,dan tak lupa pula solawat dan salam kita
ucapkan kepada nabi kita yakninya Muhammad saw.
Dalam
menganalisis karya sastra baik novel maupun cerpen,terdapat beberapa teori di
antaranya yaitu sosiologi sastra,semiotik,psikologi sastra dan yang lain lain
nya.
Pada analisis
ini saya akan menggunakan salah satu dari teori teori peganalisisan karya
sastra tersebut yakninya teori semiotik sastra yang membicarakan masalah
lambang,simbol dan ikon.
BAB
II
TEORI
SEMIOTIK
KABUT IBUMashdar Zainal
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut
itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang
tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Awalnya, orang-orang
mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian
bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun
menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung.
Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah
pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.” Peristiwa itu terjadi
berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna
bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika
itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di
kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan
ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka
perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang
disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama
Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang
tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat
pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah)
yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu
menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang
redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali
aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan
dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu
mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya
tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih
untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan
berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara
kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera
memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar
bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik.
Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta
untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup
kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari
abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat
bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat,
seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang
kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah
kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak
terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah
tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin
semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!” Berselang
jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku
tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu,
sekalian jemput ibumu.”Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi
hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa
mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali.
Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung
datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan
rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah. Abah tertatih
merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa
kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam
menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat,
bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah
tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah
mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran
mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang
menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun,
dadaku sesak menahan ngeri.
Semenjak
hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah.
Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta
tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada
sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu
seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya
diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke
dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang
mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti
pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang
melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu
berkabut.
Lelah
sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul
tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan
jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami
menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku,
ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut
tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari
air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah. Pada
akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka
pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah,
semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan
pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela
kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali
kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak
tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan
sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan
mata kami.
Sementara,
kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk
mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami
benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan.
Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus
menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela
lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat
kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap.
Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal
selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga
tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan
dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai
ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor
polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami
temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih
terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami
berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah
ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu.
Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu.
Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak
memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras
depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa
rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung
kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah
kami, sebagaimana ia menelan ibu
Kompas
BAB
III
ANALISIS
Dari cerpen
diatas dapat di analisis dengan teori semiotik sebagai berikut:
·
“Begitulah rumah
pengikut setan”
Ini
dimaksudkan kepada rumah kami/aku yang selalu mengeluarkan asap karena mereka
tidak pernah melihat dari rumah kami/aku tanda tanda adanya api.
·
Berjelanak
Yaitu
kata untuk menunjukkan sesuatu yang keluar tidak terhingga dari dalam kamar
ibu.
·
Menelanjangi seluruh
bilik
Yaitu
melihat dan mencari secara detail tanpa melewati satu halpun yang ada pada
bilik tersebut.
·
Menilik
Yaitu
mellihat secara sepintas lalu tanpa dapat mengetahui secara detail.
·
Abah tersengal sengal
mengayuh sepeda untanya
Dari
kalimt ini dapat dilihat bahwa abah mengayuh sepedanya secara tergesah gesah
dengan napas yang memacu keluar secara cepat.
·
“ya kotor,semalam
banjir”
Kalimat
ini di ungkapkan kepada aku agar tidak menimbulkan rasa takut kepada tokoh
aku,yang sebenarnya banjir itu tidak pernah terjadisama sekali.
·
Guritan matanya lebam
menghitam
Dari
klimat ini dapat diketahui bahwa ibu sesudah managis dan menalami kesedihan
yang begitu dalam.
·
Kmar ibu selalu
berkabut
Ini
merupakan kalimat yang menyatakan keheranan bahwa kenapa kamar ibu selalu di
selimuti oleh kabut dan tak pearnah ada henti hantinya.
·
Kabut itu adalah kabut
ibu
Dari
kalimat ini dapat di ketahui bahwa kabut yang tidak ada asal nya itu atau idak
diketahui asalnya itu berasal dari mata ibu yang tidak pernah menitikkan air
mata semenjak kejadian mengerikan itu terjadi.
·
Kabut itupun akan
menelan rumah kami sebagaimana ia menelan ibu
Kalimatini
adalah kalimat kepasrahan yang membiarkan sesuatu terjadi tanpa da keinginan
untuk mengubah nya ataupun mencegah nya.
BAB
IV
PENUTUP
Pertama sekali
saya mengucapkan Alhamdulillahirobbilalamin,karena telah menyelesaikan
menganalisis cerpen ini,dan tentunya didalam menaganalisis cepen ini terdapat
banyak kesalahan,oleh karena itu saya memohon maaf,dan juga sangat dibutuhkan
masukam,kritikan dan saran supaya saya dapat belajar dari kesalahan di masa
lalu dan tidak mengulangi nya lagi di masa depan,dengan demikian saya
mengucapka terima kasih banyak dan wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.
Post a Comment