PENERIMAAN Oleh : Chairil anwar Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Maret 1943 CATETAN TH. 1996Oleh : Chairil anwar Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita –anjing diburu- hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau
di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau disertakan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah! CINTAKU JAUH DI PULAU Oleh : Chairil anwar Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu Melancar , Bulan Memancar,
Di leher ku kalungkan ole - ole buat si pacar.
angin membantu , laut terang, tapi terasa
aku tidak ,kan sampai padanya
Di air yang tenang , di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta,sambil berkata :
" Tujukan perahu ke pangkuanku saja."
Amboi! jalan sudah jauh kutempuh!
Perahu yang bersama ,kan merapuh!
Mengapa ajal memangil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Manisku jauh di pulau,
Kalau 'ku mati,dia mati iseng sendiri. PELARIAN Oleh : Chairil anwar ITak
tertahan lagi
Remang miangsengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa –terengkam
Ia dicengkam mala Februari 1993
HAMPA Oleh
: Chairil anwar kepada sri Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
ANGIN, 1 Oleh :
Sapardi Djoko Darmono angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut
ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi
kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang
mendadak di depanku?" angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit
wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi -- sampai pagi tadi: ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang
diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. ANGIN, 2 Oleh :
Sapardi Djoko Darmono Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar
semalaman. Seekor ular lewat, menghindar. Lelaki itu masih tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
ANGIN, 3 Oleh :
Sapardi Djoko Darmono "Seandainya aku bukan ...... Tapi kau angin! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke
sudut kamar, menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit
itu. "Seandainya aku . . . ., ." Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku
tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga. "Seandainya ...... Tapi kau angin! Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
BUNGA, 1 Oleh :
Sapardi Djoko Darmono (i) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala. Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para
manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!" (ii) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu
pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara
ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada
embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api .... Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja,
para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!" Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
BUNGA, 2 Oleh :
Sapardi Djoko Darmono mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin
berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak
ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta
itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma pendar-pendar di permukaan kolam Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. Padamu Jua Oleh :
Amir Hamzah Habis kikis
segala cintaku hilang terbang pulang kembali aku padamu seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap pelita jendela di malam gelap melambai pulang perlahan sabar, setia selalu.
Satu kekasihku aku manusia rindu rasa rindu rupa.
Di mana engkau rupa tiada suara sayup hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu engkau ganas mangsa aku dalam cakarmu bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar sayang berulang padamu jua engkau pelik menarik ingin serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi menunggu seorang diri lalu waktu - bukan giliranku mati hari - bukan kawanku.
Hanyut Aku Oleh :
Amir Hamzah Hanyut aku, kekasihku! Hanyut aku! ulurkan tanganmu, tolong aku. sunyinya sekelilingku ! tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak. Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu. Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam Tenggelam dalam malam, air di atas menindih keras bumi di bawah menolak ke atas mati aku, kekasihku, mati aku !
Doa Poyongku Oleh :
Amir Hamzah Poyangku rata meminta sama semoga sekali aku diberi memetik kecapi, kecapi firdausi menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata penabuh bunyian kerana suara suara sunyi suling keramat
kini rebana di celah jariku tari tamparku membangkit rindu kucoba serentak genta genderang memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang alahai hatiku tiada bahagia jari menari doa semata tapi hatiku bercabang dua.
Hanya satu Oleh :
Amir Hamzah Timbul niat dalam kalbumu; terban hujan, ungkai badai terendam karam runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang lari terbang jatuh duduk air naik tetap terus tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam dalam gagap/gempita guruh kilau kilat membelah gelap Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung tempat berteduh Nuh kekasihmu bebas lepas lelang lapang di tengah gelisah, swara sentosa Bersemayam sempana di jemala gembala juriat jelita bapaku Ibrahim keturunan intan dua cahaya pancaran putera berlainan bonda.
Kini kami bertikai pangkai di antara dua, mana mutiara jauhari ahli lalai menilai lengah langsung melewat abad
Aduh, kekasihku padaku semua tiada berguna hanya satu kutunggu hasrat merasa dikau dekat rapat serupa Musa di puncak Tursina.
HANG TUAH Oleh :
Amir Hamzah Bayu berpuput alun digulungbanyu
direbut buih dibubung Selat Melaka ombaknya memecahpukul-memukul belah membelah Bahtera ditepuk buritan dilanda penjajab
dihanatuk haluan ditunda Chamar terbang riuh suaraalkamar hilang menyelam
segera.
WALAU Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Walau penyair
besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat
bagai pasir tamat
tujuh puncak membilang-bilang
nyeri hari mengucap-ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alif bataku belum sebatas allah Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
SATU Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Pil Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Memang pil seperti pil macam pil walau pil
Hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
Meski pil tapi tak pil apalah pil
Pil pil pil mengapa gigil ?
Aku demam pil bilang
Obat jadi barah
Apakah pasien ?
Tempeleng !
AMUK Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
.... aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata memanggilMu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu
O Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O... PELAYARAN TUHAN Oleh :Aprizal Malna Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan
aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi
terdaging di puncak puncak kediaman hening
mengeras dalam hujan hujan panjang
O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu pada kapal kapal kaku
bisik bisik menjauh
kata yang mengeras dalam makna
aku mengental dalam tarian sinarmu
mabok lautanmu - samudra diri
melaju
melaju kaku
ke kota kota sepi
semua tak bicara dalam sujud abadi:
diri yang terusir darimu
jadi laut tak bertepi
Korek Api di Atas Bayanganmu Oleh :Aprizal
Malna Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu
sore, dan menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas
membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti
belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di
masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya,
memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak
belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan bayangan
yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya sore itu
ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan korek api.
Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak mencari kerja,
lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian mengeras, seperti
masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan korek api terhadap
kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan, kembali ke batang-batang
pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api melahirkan sebuah sore. Dan aku
menulis bayanganmu dengan tangan-tang
Sebutir Telur di Belakang Punggungku Oleh :Aprizal
Malna Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang
berlangsung di belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat
bandara. Hari ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau
sibuk membeli coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang
ngobrol dengan ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari
sebuah pantai. Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.
Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati
berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir.
Pantai itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena
orang terus berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu
terus menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan
laut, itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu
juga bukan sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku
tak pernah tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.
Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan
untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih
seperti musim dingin.
Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku Oleh :Aprizal Malna Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan.
Dengar. Tanah itu seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang
berjalan di atas jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut
knalpot. Bukan sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat
orang membuang malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari
kesepian yang biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan
meninggalkan lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada.
Dengkulku telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku
buang dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela
atau di luar jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku
ke luar jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku
menentukan arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu.
Membuat negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam
minggu. Aku lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu.
Aku dengar dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di
atas bantal tidurmu. Tentang korek api Kamar yang Terbuat dari Laut Oleh :Aprizal
Malna Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di
Tomia, Buton. Setiap malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku
mendengar nafas laut. Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa
kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar
dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang …
Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit
Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku harus
menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan demam. Dan
pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu, tempat bahasa
melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.
Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang
menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-anaknya
di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah bangun
tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan jari-jarinya
yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat dari
darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut yang
membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah hempasan
waktu yang telah menelan seluruh leherku.
Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang
ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.
Post a Comment