Header Ads

Cerpen Surau


Surau
Sore itu mak Ijah berjalan tergesah-gesah menuju surau dengan menarik tangan anaknya Zaini. Hujan rintik memabasahi dedaunan yang lusuh. Jalan setapak licin dapat membuat siapapun yang berjalan diatasnya tergelincir dan jatuh jika seandainya tidak berjalan dengan hati-hati. Burung-burung kuyup kedinginan bertengger dipepohonan, meringsek kepada burung lain untuk mendapatkan kehangatan. Tupai tlah bersembunyi dalam lubang-lubang pohon menghindar dari dinginnya udara yang membuat beku. Dari kejauhan terlihatlah sebuah surau yang terbuat dari kayu yang sudah lusuh namun tetap kokoh.
“Angku, saya serahkan anak saya kepada Angku untuk diajarkan mengaji. Ini rotan untuk memukulnya apabila ia tidak mau menuruti perkataan Angku. Ajarilah ia tentang kehidupan dan fahamilah ia tentang akhirat.”
Matahari telah tergelincir di ufuk barat menandakan waktu magrib telah memanggil. Berdirilah seorang anak mengangkat tangan seraya menutup kedua telinganya dan terdegarlah merdu suara azan berkumandang mengalun menyayat hati yang terdalam. Tatkala mata dipejamkan, terasa dalam dekapan ibu yang mendendangkan nyanyian yang memberikan kenyamanan dan menyejukkan kalbu terdalam. Zaini terpana melihat dan mendengar ternyata ada suara azan semerdu itu. Azan selesai dan iqoma berlalu maka berdirilah untuk solad.
Zaini masih teringat tentang temannya Sapar yang tidak mau diantarkan oleh ibunya untuk pergi mengaji disurau bersamanya. Sapar memang anak yang manja, setiap kemauannya harus diikuti oleh kedua orang tuanya. Sepertinya ia sudah menjadi raja dalam rumahnya. Dilihatnya sekeliling, semua sibuk mengaji. Mulai dari iqra hingga yang sudah bisa tilawah. Waktu mengaji ditutup dengan azan isya dan solad berjamaah. Setelah selesai solad para pemuda pergi ke halaman surau. Obor diletakkan empat buah sebagai penerangan dipinggir halaman, maka terbentuklah sebuah arena. Zaini mengambil posisi duduk pada sebuah bangku yang terbuat dari bambu. Ganasnya waktu membuat bambu itu menjadi lusuh, usang dan reot. Diperhatikannya dengan cermat orang yang sedang berlatih silat, begitu lincah gerakan mereka. Gerakan mereka seperti ingin mebunuh namun tidak melukai. Tak ubahnya seperti kucingnya di rumah yang mempunyai taring tajam namun tak melukai dan membunuh mangsanya. Dan juga bisa juga berlari dan lunsung memanjat pohon. Pernah sesekali ia dibawakan seekor burung puyuh oleh kucingnya itu.
Malam semakin berlalu. Tiap sudut-sudut surau telah terisi. Ada diantara mereka yang menghafal Al-Quran, sebagian lagi mempelajari petatah petitih adat. Tak ada diantara mereka yang pulang kerumah karena mereka tak mau dianggap anak yang manja. Zaini tidur degan beberapa orang kawan. Tidur mereka hanya berkasurkan papan, papan yang telah licin mengkilat telah lama digosok dan dipoles oleh kain sarung para pemuda. Hanya kain sarung yang menjadi kawan untuk melewati dinginnya malam dan tanpa obat nyamuk.
“Zaini, coba kau jawab teka-teki saya.” Dengan nada yang sedikit menantang.
“Coba kau utarakan.”
“Kalu dipotong makin panjang, kalau disambung pendek lagi.”
“Apa itu? Hmm....” sambil mengernyitkan keningnya, sepertinya ia sedikit bingung.
“Jangan terlalu lama. Panas, dingin??”
“Baiklah aku menyerah, dingin, dingin.”
“Jawabannya yaitu kain sarung.”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Zaini tentu tidak mau kalah, ia juga memberikan teka-teki kepada mereka. Begitulah yang mereka lakukan pada malam hari saling ganti berganti saling lempar teka-teki dan pantun satu sama lain bersamaan dengan candaan dan gurauan menyegarkan otak serta membuat wajah awet muda. Dengan pencahayaan yang hanya berasal dari pelita dengan bahan bakar minyak tanah ataupun solar.
Mata tentu tidak bisa kompromi dengan dinginnya malam dan kegelapan. Perlahan suara keriuhan hilang dengan sendirinya berangsur surut menepi secara samar berganti dengan suara dengkuran yang mempunyai berbagi macam variasi. Mulai dari keras sampai lembut berirama dan ada juga yang abstrak. Insan-insan yang sedang berlari dalam mimpi yang menghanyutkan perlahan tersadar dengan bergemanya azan subuh yang melengkapi peristiwa subuh. Ayam mengepakkan sayapnya berkokok menunjukkan kegagahannya menantang garis cahaya fajar yang mulai menampakkan gerangannya di ufuk timur. Perlahan Zaini bangun dengan mata yang masih berat, ia membutuhkan sedikit waktu untuk menenangkan diri mengumpulkan kekuatan untuk berdiri kemudian perlahan pergi ke tepian sungai dibelakang surau untuk berwudlu, dirasakan dalam hidungya ada hal yang aneh, ternyata hidungnya hitam karena asap dari pelita minyak itu. Solad subuh memang membutuhkan kekuatan lebih, tak jarang diantara mereka ada yang seperti burung balam yang mengangguk-anggukkan kepalanya seperti hendak jatuh namun kembali ditegakkan.
Zaini pulang kerumah. Ia segera menuju pintu belakang perlahan dilihatnya ternyata pintu sudah terbuka. “Pasti ayah sudah pergi ke kebun” pikirnya. Langkah dilanjutkan menuju meja makan. Dibukanya tujung saji, ternyata masih ada sisa nasi semalam dan sedikit sambal dangan beberapa potong kepala ikan asin. Makan dengan nasi dingin tentu tidak begitu membuat gairah makan bergelora. Namun, karena perut keroncongan apapun akan disungkahinya, yang penting rongga kosong dalam perut telah terisi. Selera memang menghendaki untuk makan nasi yang masih hangat dan sambal gulai ikan patin yang ada diwarung. Namun, itu semua membutuhkan uang, sementara uang masih merupakan harta karun yang terpendam, maka ia buang semua keinginannya itu. Segera ia pergi mandi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Sebelum pergi, tak lupa ibunya memberikan dua lembar uang seratus rupiah. Lumayan untuk belanja hari ini.
Di sekolah hari ini ada pelajaran agama. Gurunya itu menceritakan suatu kisah tentang seorang guru yang menguji anak muridnya untuk menyembelih ayam tanpa ada satupun yang boleh tau. Semua tempat tersembunyi telah didatangi oleh murid-muridnya tersebut. Ada yang menyembelih ayam itu dibawah kolong tempat tidur, ada yang menyembelih ayam tersebut di dalam kamar mandi, sebagian yang lain ada yang di atas loteng. Setelah menyembelih ayam tersebut mereka kembali kepada gurunya, semua ayam yang mereka bawa tewas dengan leher tergorok, kecuali hanya satu orang santri yang membawa kembali ayam itu dengan sehat wal afiat, kemudian gurunya tadi berkata “kenapa kamu tidak menyembelih ayam ini? Apakah kamu tidak pandai menyembelih atau kamu sayang sama ayam ini?” semua teman-temnnya menertawai anak tersebut, kemudian dengan tenang ia menjawab, “tadi kata guru kami harus menyembelih ayam ini tanpa ada satupun yang melihat, setelah saya mencari semua tempat tersembunyi memang tidak ada seorangpun yang melihat saya, tapi tapi tuhan selalu melihat saya.” Kemudian gurunya mengusap kepala murid tersebut dan berkata. “Hanya kamu yang lulus dari ujian ku hari ini.” Semua murid lain tertunduk tak bicara sepatah katapun. Mendengar cerita itu dari gurunya, Zaini ingat semua hal-hal yang pernah ia lakukan, seperti mengambil uang ibunya untuk membeli rokok, dan ketika ibunya bertanya kepadanya tentang uang itu ia hanya bilang tidak tau. Atau pada saat ia mengambil mangga pak Suhat, dan pak Suhat datang marah-marah ke rumahnya dan memaki-maki ayah dan ibunya, saat ditanya, ia juga cuma bilang tidak tahu. Mengigat hal itu, rasa sesal tumbuh perlahan dari dalam kalbunya.
Sepulang dari sekolah Zaini langsung mengganti pakaian dan pergi mengembala kerbau pak Kahar. Kerbau yang digembala sebanyak lima ekor. Dengan membuka bekal yang ia bawa, dipandanginya kerbau itu melahap setiap rumput yang ada didepannya. Tak ubahya bagai mesin pemotong rumput yang mebuat padang itu menjadi datar. Di langit terlihat elang sedang berputar mengawasi dari angkasa mencari dan menanti buruan yang bisa dengan seketika ia sambar untuk dijadikan santapan siang ataupun makanan anak-anaknya. Bisa itu ular ataupun burung-burung kecil, dan kalau tidak hati-hati ayampun bisa ia larikan dengan cengkraman kukunya yang luar biasa kuat. Tak heran kalau ia menempati puncak rantai makanan dikalangan unggas sebab tak satupun dapat melawannya kecuali satu, yaitu manusia. Meskipun musuhnya hanya satu yatu manusia tatap saja menjadi lawan yang tidak seimbang, hingga membuat elang ditetapkan sebagai hewan langka.
Waktu magrib telah lama beranjak. Dari tadi siang lagit mendung, seakan menahan kesedihan yang mendalam. Cuaca mendung memang membawa kesuraman tersendiri, sangat identik dengan kesedihan. Rinai mulai membasahi daun-daun rumbia yang dijadikan atap suarau. Hawa dingin menlumuti, menghembus telapak-telapak kaki anak manusia yang sedang sujud menghadap penciptanya. Magrib telah berlalu. Namun, Angku masih belum juga datang untuk mengajar ngaji. Jadilah para santri sibuk dengan urusan mereka sendiri, setelah mengaji sedikit kemudian mereka Membuat permainan hingga waktu isyapun berlalu dengan pasti dan Angku tidak juga datang ke surau.
Pagi harinya Zaini mendapat kabar bahwa ternyata Angku telah meninggal dunia. Ia terjatuh ditepi sungai. Saat hendak menuruni tangga, ia terpeleset dan kepalanya terbentur pada bebatuan ditepi sungai. Satu persatu warga kampung berdatangan melayat ke rumah Angku. Mereka merasa sangat kehilangan dengan sosok yang sangat disegani dan dihormati dikapung itu. Kebersahajaan dalam hidupnya, keramahan dan ringan tangan dalam membantu siapapun membuat mereka terhenyak menyadari ia tlah pergi selama-lamanya.
 “Tuhan sudah mulai menjalankan bencana kebodohan pada umat manusia.” Ucap salah seorang diantara pelayat-pelayat itu.
“Kau tidak boleh berkata begitu, kita harus selalu berbaik sangka kepada tuhan.” Celetuk seorang lainnya terhadap orang tadi.
“Coba saja kau pikir. Bagaimana orang akan menjadi pintar, sementara yang bijak dan cerdas sudah dicabut nyawanya oleh tuhan, tentu yang tersisa hanya orang bodoh dan mengajarkan orang bodoh lainnya.”
***
Zaini berdiri memandangi setiap detil surau itu. Atapnya telah dipenuhi lubang disana-sini. Dindinya yang terbuat dari papan sebagian telah terlepas. Di dalam surau telah kotor, penuh dengan kotoran kambing yang seskali dipakai warga untuk dijadikan kandang ternaknya. Melihat kembali surau ini tentu membut Zaini mengutip kembali kenangan lalu, matanya berkaca-kaca. Namun, itu semua hanya terpampang dalam bingkai kenangan yang harus tetap diingat dan disimpan. Sejenak dipandanginya sketsa rancangan yang telah  ia buat. Sebuah gedung bertingkat mencakar-cakar langit lengkap dengan kolam renangnya.  Seketiaka sesorang mendekatinya dan berkata “Bangaimana pak? Eksekusi siap kita laksanakan?” Zaini mengangguk dan orang itu segera berlari menaiki alat beratnya.

                                                                                    Dimuat di : Rakyat Sumbar April 2018

No comments