Cerpen Ampangkuranji
Ampangkuranji
Aku
asik sendiri di tengah keriuhan kelas, dengan lamunan ku yang entah aku tak tau
apa, ku lihat ke sekeliling teman-temanku asik dengan kegiatan mereka sendiri,
ibu guru di depan kelas juga asik dengan kegiatannya sendiri. Kupandangi dua
orang yang selalu tersenyum setiap hari di dinding kelas itu, sepertinya tak
pernah berubah.
Lamunanku
tiba-tiba buyar seketika seorang pria datang berlari ke kelasku menghampiri bu
guru, ia membisikkan sesuatu, entah apa yang mereka bisikkan tetapi bisikan itu
bak malaikat maut yang seketika membuat ibu guru menjadi begitu panik, aku tau
dari reaksi wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi muram dan penuh kecemasan.
Setelah pria itu pergi, dengan penuh tanda tanya di pikiranku bu guru langsung
membubarkan kelas.
“Anak-anak,
pelajaran kita hari ini cukup sampai di sini dulu ya, jangan ada diantara kalian
yang pergi bermain. Semua harus langsung pulang ke rumah. Kalian paham kata-kata
ibu? Kalian harus langsung pulang ke rumah ya.”
Tentu
saja sebagai insting seorang anak yang sedang duduk di kelas tiga sekolah dasar
mendengar kata pulang lebih awal membuat mereka bersorak sorai bergembira. Mereka
langsung cabut ambil langkah seribu meninggalkan ruangan kelas seperti tanpa
peduli dengan siapapun atau apapun yang
menghalangi mereka. Namun berbeda kulihat pada kelas lain yang keluar kelas
dengan keadaan ketakutan. aku menjadi bertaya-tanya. lalu kuhampiri dia.
“Hei
boy, kenapa kau lesuh saja, pulang lebih awal tak senangkah kau?”
“Kau
tau kenapa kita pulang lebih awal?”
“Tidak.”
“Kita
pulang cepat karena desa Ampangkuranji akan segera menyerang desa kita. Kau
tau, mereka tak peduli pada orang dewasa, anak-anak, wanita, mereka akan
membunuhnya. Katanya orang dewasa kampung kita sudah mempersiapkan senjata
mereka dan berkumpul di balai desa.”
Seketika
saja kurasakan raut wajahku berubah. Kurasakan ngilu diseluruh tubuhku,
pikiranku bercampur aduk, ketakutan, kekhawatiran, cemas, bingung, di godok menjadi
satu yang membuatku ingin menangis dan serasa ingin buang air. Namun, tak kuasa
menitikkan air mata. Dengan sekuat tenaga lansung saja kuayunkan kaki walau agak
sedikit gontai berlari menuju rumah, entah kenapa rumah menjadi terasa begitu
jauh, berat rasanya kaki untuk di ayunkan berlari, setapak demi setapak seakan
membutuhkan waktu yang lama untuk mendahului satu sama lain. Melihat kerumunan
orang yang berlalu lalang aku jadi
merasa penuh kecurigaan dan ketakutan seakan mereka adalah musuh. Jangan-jangan
mereka adalah salah satu dari orang-orang Ampangkuranji yang masuk ke desa ini,
padahal mereka hanyalah orang-orang yang biasa kulihat sehari-hari.
Sesampainya
di rumah ku panggil ibu, kupanggil ayah, mereka tak menjawab. Kakak-kakak ku
pun tak ada kutemukan di sana, suasana rumah begitu sunyi, pintu ku temukan
dalam keadaan tidak terkunci, aku menjadi sangat ketakutan dan khawatir,
jangan-jangan orang Ampangkuranji itu telah datang ke rumah ini. Aku tak berani
membayangkan apa yang terjadi. Namun, aku tak terlalu kehilangan akal sehat.
Dengan keadaan masih diliputi rasa was-was aku ingat bahwa ibu masih berada di
kebun, tanpa pikir panjang aku langsung berlari lagi mengitari semak-semak,
melewati jalan setapak menuju ke kebun karet tempat ibu menyadap karet. Aku merasa mungkin seperti inilah yang dirasakan
oleh orang jaman dahulu waktu masih dalam masa perang melawan penjajah, hidup
mereka tak tenang, selalu diliputi dengan perasaan cemas dan kehawatiran
tantang keselamatan nyawa mereka. Oh Tuhan kenapa ini, apa yang mengakibatkan
desa Ampangkuranji ingin menyerang desa ini, kenapa kedamaian dan ketentraman
ini terusik kembali.
“Mak!!
Mak!! Mak dimana?”
“Ada
apa? Mak di sini”
Dengan
nafas tersengal, kuhampiri ibuku yang sedang menyadap karet, kulihat di sana
juga ada kakak perempuanku, mereka agak terkejut dengan kedatanganku yang
tiba-tiba.
“Kenapa
kamu ke sini, kok pulangnya cepat?”
Bagai
disambar petir bukan kepalang terkejutnya ibuku setelah kukatakan semuanya
tentang apa yang terjadi, sebelumnya ia mengira itu hanya bualan saja dan tidak
mau percaya ketika ada seorang yang lewat mengatakan hal itu. Ia merangkul kami berdua dan mengajak kami
pulang, dapat kurasakan kecemasan dan kehawatiran ibuku, kulitnya yang
berangsur keriput terlihat dengan jelas dari kerutan keningnya. Langkah kakinya
tertahan namun terus dipaksakan untuk menariknya. Duri-duri semak belukar tak
ia hiraukan, terlihat disana beberapa goresan yang tertulis di kakinya.
Terlintas
dibenakku tentang ayah, dimanakah ia sekarang, apakah yang sedang ia lakukan,
apakah ia masih dikebun? Namun aku tak ingin membayangkan apa-apa, ngeri sekali
jika seandainya ia bertemu dengan orang-orang Ampangkuranji itu, tak masalah
jika seandainya mereka bertemu satu lawan satu, ada kemungkinan ayah untuk bisa
bertahan, namun jika seandainya mereka banyak, semua bersenjata tajam. Entahlah,
hanya kepada Tuhan aku serahkan semua. Tetapi aku bisa bernafas lega karena
sesampainya di rumah kulihat ayah sudah ada di sana, kulihat senyum kecemasan
tergambar di wajahnya, ia mengatakan bahwa jalan penghubung sudah di blokir
dengan batang kayu dan batu-batu besar oleh warga. Bersamaan dengan saat itu
datang tetangga yang mambawa bungkusan, entah apa isi dari bungkusan itu aku
tidak tau, tidak mau tau tepatnya. Mereka mengajak kami untuk mengungsi
meninggalkan rumah, katanya untuk antisipasi.
Di
belantara perkebunan karet. Sore itu kami berusaha untuk tidak bersuara, setiap
orang menanamkan rasa curiga dalam diri mereka masing-masing, curiga dengan
bunyi-bunyian dan apa pun yang mereka anggap akan mengancam jiwa mereka, setiap
sesuatu yang bergerak merupakan objek utama sasaran perhatian mereka, bagaimana
nanti jika seandainya orang-orang Ampangkuranji itu mengejar mereka ke sini.
Ayahku yang ternyata sudah muak dengan keadaan itu membawa kami pulang ke
rumah, ia tak peduli lagi apa yang akan terjadi, ini ia lakukan karena mungkin
tak tega melihat kami yang sudah mulai kelaparan, dan digigiti oleh
serangga-serangga hutan.
Malam
harinya terasa begitu mencekam. Penduduk mematikan lampu-lampu rumah mereka, begitupun
dengan lampu rumah kami. Kami berdiam diri di dapur, karena dapur merupakan
alternatif paling cepat untuk melarikan diri dengan lewat pintu belakang. Entah
kenapa malam ini mobil-mobil begitu ramai lewat di jalan depan rumah, truk-truk
besar lalu lalang dengan lampu seperti ambulan dan lampu patroli polisi. Namun,
warnanya tidak merah ataupun biru, melainkan berwarna kuning ke orangean, ini
menambah ke khawatiran bagaimana nanti jika seandainya yang diangkut oleh
truk-truk itu adalah orang-orang Ampangkuranji.
Suara
dentangan jam yang begitu keras mengagetkan kami sekeluarga yang sedang
diliputi ketakutan dan kesunyian. Suara itu begitu keras terdengar dari
biasanya, ia berdentang delapan kali menandakan bahwa sekarang sudah pukul
delapan malam. Kakak ku sampai berteriak menjerit terkejut dengan hal itu.
Ayahku langsung menghampiri jam tersebut dan mencopot batrainya. Malam ini
terasa begitu lama, begitu berat dan penuh was-was, seakan-akan ingin rasanya
menarik matahari agar ia menberikan pagi.
Baca Juga: Wajah Ayah
Surau
Baca Juga: Wajah Ayah
Surau
Aku bangun telat. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul
sepuluh pagi. Aku tidak sekolah, tidak pergi sekolah tepatnya. Tubuhku masih
terlalu lelah untuk bangun, banyangan tentang ketakutan sedikit demi sedikit
mulai menghampiri kembali. Namun, samar-samar terdengar suara obrolan dari
ruang tamu, suara beberapa orang pria salah satunya aku kenal suara itu, ia
adalah teman ayahku yang sering main ke rumah. Ia adalah Acit orang Ampangkuranji
yang sudah bagaikan keluarga bagi kami, sekilas kudengar perkataanya adalah
“orang-orang Ampangkuranji mengira orang-orang sini yang akan menyerang
ke sana.”
Dimuat di : Dharmasraya Ekspres (sekarang sudah tidak ada kolom sastranya :( )
Post a Comment