Header Ads

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


A.    KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA SEBELUM DATANGNYA ISLAM
Menurut ahli etnologi, asal-usul keturunan bangsa Indonesia berasal dari rumpun bangsa Austronesia dari Hindia Belanda. Sekarang termasuk daerah Thailand, Birma, Kamboja, Laos, Khmer dan Tonkin.
Kehidupan penduduk bangsa Indonesia pada waktu itu masih bergantung pada alam. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan sehingga menyebarlah penduduk Indonesia di seluruh pulau, diantaranya Kalimantan, Sumatera dan Jawa.
Nama ‘Indonesia’ pertama-tama disebutkan oleh orang Inggris yang bernama Richard Legan. Ia menyebut Indonesia dengan maksud memberi sinonim bagi istilah India atau kepulauan Indonesia.
Sebelum agama Islam datang, bangsa Indonesia sudah memeluk bermacam-macam kepercayaan dan agama. Kepercayaan itu disebut animisme dan dinamisme, sedangkan agamanya adalah Hindu dan Budha.
B.     MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA DAN PEMBAWANYA
Kedatangan agama Islam ke Indonesia umumnya dihubungkan dengan masalah perdagangan dan pelayaran. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa-bangsa yang mendiami Asia, baik bagian barat, bagian timur maupun bagian tenggara, sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Dua faktor utama yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur Jauh, yaitu:
1.      Faktor letak geografis yang strategis, yaitu Indonesia berada di persimpangan jalan raya internasional dari jurusan Timur Tengah, Tiongkok, melalui lautan dan jalan menuju Benua Amerika dan Australia.
2.      Faktor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain. Misalnya, rempah-rempah (Depag, 1985:128)
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/1 H (Sidi Ibrahim Boechari, 1981:32), tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. perluasan Islam ditandai adanya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak pada tahun 1292 dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai samudera utara dan urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur. Walaupun di sana terjadi peperangan, masuknya Islam ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke agama Islam, pada umumnya berlangsung secara damai (BP3K Depdikbud, 1979: 31).
Mukti Ali mengatakan bahwa suksesnya penyiaran Islam di Indonesia, selain karena ajaran-ajaran Islam itu gampang dimengerti, juga karena kesanggupan pembawa Islam dalam memberikan konsensi terhadap yang ada dan hidup dalam masyarakat (A. Mukti Ali, 1974: 6). Sementara itu, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menguraikan, tiga faktor utama yang mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia.
1.      Ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya suatu prinsip yang secara tegas menekan ajaran untuk memercayai Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Hal ini merupakan ajaran baru yang bertentangan, secara diametral, dengan hubungan kemasyarakatan pada waktu itu, yaitu sistem kasta yang berasal dari ajaran Hindu. Dengan memilih Islam, pada dasarnya mereka telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan, dan keadilan. Hal ini karena menurut Islam, semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Adapun yang membedakannya hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
2.      Daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang universal. Ajaran Islam begitu lentur ketika berhadapan dengan berbagai bentuk situasi kemasyarakatan. Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang lain, dan sebagainya disubordinasikan dalam ajaran Islam, sebab ajaran-ajaran seperti itu juga dikandung oleh Islam.
Namun demikian, tidak semua nilai lama yang telah ada itu secara keseluruhan sesuai dengan ajaran Islam. Ajaran lama yang oleh Islam dianggap bertentangan secara diametral, tentunya tidak ditoleransi dan perlu diislamisasi.
3.      Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis dan Belanda yang mengobarkan penjajahan dan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan agama, tetapi lebih jauh lagi dimaksudkan sebagai alat (Fachri Ali-Bachtiar Effendi, 1990:37).
Professor Mahmud Yunus merinci beberapa faktor yang memungkinkan agama Islam tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu sebagai berikut.
§  Agama Islam tidak sempit dan aturan-aturannya pun tidak memberatkan, bahkan mudah dituruti oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja.
§  Tugas dan kewajiban dalam Islam itu sedikit.
§  Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh segala golongan, dari golongan bawah sampai golongan atas, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya: “Berbicaralah kamu dengan manusia menurut kadar akal mereka” (Mahmud Yunus, 1993: 14)
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya proses Islamisasi di Indonesia sehingga pada gilirannya, Islam menjadi agama utama dan mayoritas di negeri ini.
Adapun mengenai cara dan pembawa agama Islam ke Indonesia pada masa permulaan, para pengamat sejarah berbeda pendapat. Ahmad Mansyur Suryanegara menguraikan tiga teori tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu Teori Gujarat, Teori Mekah dan Teori Persia.
Ketiga teori tersebut mencoba memberikan jawaban terhadap permasalahan pokok tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, meliputi: waktu masuknya agama Islam, asal Negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam dan pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Indonesia.
1.      Teori Gujarat
Peletak dasar teori Gujarat, menurut dugaan adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’ Arabiee et les Indes Neerlandaises atau Revus del ‘Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih menitik beratkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan:
1)     Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara.
2)     Hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin.
3)     Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera dengan Gujarat (T. W. Arnold, 1963: 370)
Sejalan dengan pendapat di atas, W.F. Stutterheim dalam bukunya De Islam enzijn Komst In de Archipel, menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat dengan alasan bahwa relief nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera, yakni Malik Al-Shaleh yang wafat pada tahun 1297 bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat (W.F. Stutterheim, 1962: 35)
J.C. Van Leur dalam bukunya Indonesia: Trade and Society, menyatakan bahwa tahun 674 di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Tahun-tahun berikutnya, perkampungan tersebut mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Hal ini memengaruhi juga perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara (J.C. Van Leur, 1955: 111)
Pendapat J.C. Van Leur sedikit berbeda dengan sejarahwan sebelumnya. Ia mempunyai kesamaan dengan pendapat T.W. Arnold ataupun J.C. Van Leur yang tidak dapat melepaskan pandangannya dari pengaruh Gujarat tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, mengikuti pendapat Snouck Hurgronje. Selain itu, J.C. Van Leur dan T.W. Arnold menyetujui adanya bangsa Arab yang memelopori penyebaran agama Islam.
Teori Gujarat ini terlihat Hindu Sentries karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan agama Islam di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Teori Gujarat secara mutlak menolak peranan bangsa Arab. Teori Gujarat ini tentu memiliki kelemahan, bila dibanding dengan Teori Mekah (Ahmad Mansur Suryanegara, 1996: 81)
2.      Teori Mekah
Hamka menolak pandangan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka lebih mendasarkan pandangan pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, pada abad ke-7. Adapun Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, Mekah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
Analisis Hamka menambahkan pengamatannya pada masalah Madzhab Syafi’i, sebagai Madzhab yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh yang tersebar di Indonesia.
Hubungan Arab dengan negara-negara Asia lainnya telah berlangsung lama. Ini terbukti dengan adanya perkampungan pedagang Arab Islam di pantai barat Sumatera pada abad 674 M, yang bersumber dari berita Cina, diantaranya bahwa hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama melalui jalan barat menggunakan “Kapal Sahara”. Jalan darat ini sering disebut “Jalan Sutera”, berlangsung sejak 500 SM (D.H. Burger dan Prajudi Atmosudirjo, 1960: 16)
Berita Cina ini dituliskan kembali oleh T.W. Arnold (1896), J.C. Van Leur (1995) dan Hamka (1958)
Peninggalan mata uang yang tersebar di kota-kota Eropa, membuktikan bahwa bangsa Arab pada abad ke-7 sampai abad ke-11 menguasai perniagaan di Eropa, tidak hanya di Asia dan Afrika saja. Mata uang tersebut ditemukan di negara-negara utara, di rusia ditemukan mata uang Islam di Volga Provinsi Kazan. Dalam jumlah yang cukup besar terdapat pula mata uang Arab di Provinsi Baltik (Sir Thomas Arnold dan Alfed Gillanme, 1965: 95)
Adanya fakta berupa mata uang yang terbesar di kota-kota Eropa memberi tanda luasnya daerah pengaruh kebudayaan Islam. Besarnya pengaruh ini dapat kita ukur dengan kata-kata bahasa Arab yang memperkaya pembendaharaan bahasa Inggris atau Belanda. Sebagai ilustrasi, kata traffic dari kata tafriq, tarif berasal dari kata ta’rif, cheque berasal dari sakk, magazine berasal dari makhazin, dan lain-lainnya.
Cukup sebagai telaah bahan pertimbangan  bahwa pada abad ke-7 terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatera, juga sebagai informasi sejarah yang menggambarkan kemungkinan peranan bangsa Arab dalam memasukkan agama Islam ke Indonesia. Sebagaimana keterangan Hamka pada Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (Hamka, 1963: 2). Sejak pidatonya dalam Dies Natalis PTAIN (1958) dan seminar (1963), Hamka berpendapat, diantaranya: masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa agama Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Mereka bukanlan anggota misi meskipun pada hakikatnya setiap orang Islam mempunyai kewajiban misi.
Di samping dibawa oleh pedagang Arab, Hamka juga menyatakan orang Indonesia mengambil inisiatif untuk belajar dengan berlayar ke luar daerah, seperti Cina, Hindustan, Laut Merak, Pantai Jedah, bahkan membangun negara baru di Malagasi (Madagaskar) sehingga bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa yang pasif, tetapi sebagai bangsa aktif yang bergerak ke luar.
Mengenai kemampuan berlayar bangsa Indonesia ini, antara Hamka dengan kebanyakan sejarahwan Barat tidak banyak terdapat perbedaan pendapat. Pandangan sejarahwan Barat lebih memerhatikan mistik Islam Indonesia yang mempunyai kesamaan dengan mistik di Indonesia.
3.      Teori Persia
P.A. Hoesein Djajadiningrat adalah pembangun teori Persia di Indonesia. Teori Persia ini lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai kesamaan dengan Persia (P.A. Hoesein Djajadiningrat, 1963: 140)
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
1)      Peringatan 10 Muharam atau Assura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian Syahidnya Husain.
2)      Adanya kesamaan ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran Al Hallaj.
3)      Sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harkat dalam pengajian Al-Qur'an tingkat awal:
Bahasa iran
Bahasa arab
Jabar-zabar
Fathah
Jer-zeer
Kasrah
P’es-py’es
dhammah

Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin yang bergigi berasal dari Arab. (Ibrahim Buchari, 1971: 21)
K.H. Saepuddin Zuhri sebagai salah seorang peserta seminar (1963) menolak pendapat bahwa kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Persia. Menurutnya, bila berpedoman pada masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-17, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan khalifah Umayah. Pada saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan ada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat perkembangan Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, tidak mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Saifuddin Zuhri, 1979: 188)
Dari uraian di atas dapat kita lihat perbedaan dan persamaan teori Gujarat, Mekah dan Persia.
Teori Gujarat dan Persia memiliki kesamaan pendapat, bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu pada abad ke-13 saat timbulnya kekuasaan politik Islam di Indonesia, kerajaan Samudera Pasai sebagai pusatnya. Perbedaannya, yaitu bahwa teori Gujarat memandang adanya kesamaan ajaran sufi di Indonesia dengan Persia.
Teori Mekah tidak sependapat bahwa abad ke-13 sebagai masuknya agama Islam ke Indonesia karena abad tersebut dianggap saat-saat perkembangan agama Islam di Indonesia, dan saat itu telah terjadi kekuasaan politk Islam. Adapun teori Mekah memandang  bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi abad ke-7 Masehi. Pelaku pembawa agama Islam adalah saudagar Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Selain itu, teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagangan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Akhirnya, teori Mekah yang dikemukakan oleh Hamka, mendapat perhatian dan pembenaran dalam Seminar Sejarah Islam ke Indonesia (1963), Sejarah Islam di Minangkabau (1969), Sejarah Riau (1975), Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan (1976), dan Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia (1980) (Ahmad Mansur Suryanegara, 1996: 94)
C.    PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA
Adapun beberapa saluran proses islamisasi di Indonesia yaitu perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Pembahasan ini akan lebih melihatnya dari peranan pendidikan dalam proses islamisasi di Indonesia.
Berbicara tentang pendidikan tentu sebaiknya dimulai dari membicarakan apa sebetulnya esensi pendidikan tersebut. Dipandang dari sudut definisi pendidikan yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, dari sekian banyak itu dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat pendidikan itu adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian pendidikan Islam, proses pembentukan manusia sesuai dengan tuntunan Islam.
Dalam teori pendidikan dikemukakan paling tidak ada tiga hal yang ditransfer pembuatan (transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill) di dalam proses pentransferan inilah berlangsungnya pendidikan.
Peranan kerajaan Islam di Aceh dalam bidang pendidikan dapat dilihat dalam tulisan Hasjmy “Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah” beliau mengemukakan diantara lembaga-lembaga Negara yang tersebar dalam Qanun Mukuta, alam ada tiga lembaga yang bidang tugasnya meliputi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Balai Setia Hukama
Balai ini dapat disamakan dengan lembaga ilmu pengetahuan tempat berkumpulnya para sarjana, Hukama (ahli pikir) untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.      Balai Setia Utama
Balai ini dapat disamakan dengan jawatan pendidikan yang membahas masalah pendidikan.
3.      Balai Jamaah Himpunan Ulama
Balai ini dapat disamakan dengan sebuah studi klub tempat para ulama/sarjana berkumpul untuk bertukan pikiran.
Berdasarkan ungkapan di atas dapat dimaklumi betapa luasnya ruang lingkup pendidikan, sehingga setiap perbuatan yang pada intinya pentransferan ilmu, nilai, aktifitas dan keterampilan dapat disebut dengan pendidikan. Karena itu dapat dipastikan pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktifitas maupun dalam pembentukan sikap




Sebelum datangnya pengaruh Hindu–Buddha dan Islam, masyarakat Indonesia telah mengenal kehidupan religius yang dijadikan pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupannya. Hampir setiap kegiatan selalu dilandasi dengan upacara religius, baik dalam kegiatan mata pencaharian, adat istiadat perkawinan, tata cara penguburan, selamatan-selamatan (Jawa=slametan), maupun dalam kehidupan lainnya. Mereka patuh menjalankan pranata-pranata yang berbau religius dan magis tersebut karena mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pelanggaran akan mendapatkan kutukan dari arwah nenek moyang yang dampaknya akan mendatangkan bencana terhadap warga masyarakatnya.

Tradisi kehidupan religius ini semula bentuknya masih sangat sederhana (sebelum pengaruh Hindu–Buddha merupakan tradisi lokal) sehingga ketika penga- ruh Hindu–Buddha masuk ke Indonesia, tradisi-tradisi lokal ini tidak musnah melainkan justru makin berkembang. Hal ini dikerenakan pengaruh Hindu–Buddha juga menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat, hanya saja cara-cara dan upacara religusnya bersumberkan pada ajaran Hindu–Buddha




Sebelum kedatangan hindu-budha, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan tetapi masih secara sederhana yaitu semacam pemerintahan di suatu desa atau daerah tertentu dimana rakyat mengangkat seorang pemimpin atau kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya adalah orang yang senior, arif, berwibawa, dapat membimbing serta memiliki kelebihan tertentu , termasuk dalam bidang ekonomi maupun dalam hal kekuatan gaib atau kesaktian.
 Berdasarkan penelitian seorang sarjana Perancis yang bernama Coedes dalam bidang peradaban masyarakat Indonesia sebelum pengaruh Hindu-Buddha terdapat 10 unsur peradaban yang dimiliki di antaranya:
1. Memelihara ternak (sapi, unggas, dan lain-lain)
2. Mengenal keterampilan teknik undagi (perundagian)
3. Mengenal pengetahuan pelayaran di samudera luas
4. Sistem kekerabatan matrilineal
5. Kepercayaan animisme, dinamisme, dan pemujaan roh leluhur
6. Mengenal organisasi pembagian air untuk pertanian (irigasi)
7. Kepandaian membuat barang-barang dari tanah liat seperti gerabah atau tembikar
8. Kepercayaan kepada penguasa gunung
9. Cara pemakaman pada dolmen atau kubur batu
10. Mitologi pertentangan antara dua unsur kosmo

Sedangkan sarjana purbakala Dr. Brandes menyatakan bahwa menjelang masuknya pengaruh
Hindu-Budha atau menjelang kehidupan masyarakat Indonesia mengenal tulisan, telah
memiliki 10 unsur pokok kebudayaan asli Indonesia, yaitu :
1. Bercocok tanam padi( bersawah)
2. Mengenal prinsip dasar permainan wayang, dengan maksud untuk mendatangkan
roh nenek moyang.
3. Mengenal seni gamelan yang terbuat dari perunggu
4. Pandai membatik (tulisan hias)
5. Pola susunan masyarakat macapat, susunan suatu ibukota selalu terdapat tanah
lapang atau alun-alun yang dikelilingi oleh istana (keraton), bangunan tempat
pemujaan atau upacara agama. Sebuah pasar dan sebuah rumah penjara
6. Telah mengenal alat tukar dalam perdagangan
7. Membuat barang-barang dari logam, terutama perunggu
8. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam pelayaran (sebagai bangsa bahari)
9. Mengenal pengetahuan astronomi
10.Susunan masyarakat yang teratur
Jadi, berdasarkan sisa-sisa peninggalan yang ditemukan maka dapat diungkapkan bahwa
kehidupan masyarakat nenek moyang Indonesia pada zaman sebelum masuknya pengaruh
Hindu-Budha telah memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi.
setelah kedatangan hindu-budha , kebudayaan lokal tidak langsung hilang , tetapi berkembang bersama dengan hindu-budha

DAFTAR PUSTAKA

No comments